Masih inget semangatnya waktu Merdeka Belajar pertama kali dicanangkan? Rasanya kayak angin segar. Janjinya muluk: guru dan siswa dibebaskan dari beban administratif, fokus pada pengembangan karakter dan kompetensi. Tapi sekarang, di 2025, kita harus jujur nanya: sejauh mana sih perubahan itu bener-bener nyampe ke ruang kelas? Atau cuma jadi wacana di tingkat atas doang?
Ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk evaluasi bersama. Sebagai guru, kita yang merasakan langsung panasnya di lapangan.
Laporan Kemajuan: Yang Sudah Berjalan (dan Terlihat Hasilnya)
Harus diakui, ada kemajuan. Perlahan.
1. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) Mulai Dipahami
Awalnya bingung banget. Ganti UN dengan AKM yang ngetes numerasi, literasi, dan survei karakter. Sekarang? Banyak sekolah yang udah mulai integrasikan soal-soal AKM ke pelajaran sehari-hari. Guru-guru juga udah pada melek data. Mereka bisa liat, “Oh, anak-anak di sekolahku lemah di numerasi,” trus fokusin perbaikan di situ. Itu langkah maju yang konkret.
2. Guru Penggerak Mulai Membuat Perubahan Kecil
Program Guru Penggerak itu ibaratnya menyalakan lilin-lilin kecil di kegelapan. Saya kenal Bu Sari, guru SD di pelosok. Setelah ikut program itu, dia berani ubah total kelasnya. Meja kursi ditata berkelompok, proyek kolaborasi sama siswa, bahkan ajak anak-anak nanam sayur di kebun sekolah. “Anak-anak jadi semangat banget datang ke sekolah,” katanya. Efek riaknya, guru-guru lain di sekitarnya jadi ikut tertular semangat untuk berinovasi.
3. Fleksibilitas Kurikulum (Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan)
Ini poin yang sering dilupakan. Sekolah sekarang dikasih wewenang buat kembangkan kurikulum sendiri yang sesuai konteks daerah. Ada sekolah di daerah maritim yang kurikulumnya masukin materi tentang kelautan. Atau di daerah agraris yang ajarin siswanya tentang pertanian modern. Meski belum sempurna, setidaknya sudah ada ruang untuk kontekstualisasi.
Laporan Kekurangan: Tantangan yang Masang Nggak Bisa Diabaikan
Tapi ya, jalan masih panjang. Masih banyak yang mentok di tengah jalan.
1. Beban Administrasi Guru Masih Gila-Gilaan
Ini ironis banget. Janjinya Merdeka Belajar bakal bikin guru fokus ngajar. Tapi realitanya? Rapor pendidikan, platform ini itu, laporan proyek, dokumentasi untuk akreditasi… wah, nggak ada abisnya. Banyak guru yang akhirnya balik ke cara lama karena capek secara mental ngurusin administrasi yang numpuk. Kapan waktunya mikirin kualitas mengajar?
2. Infrastruktur dan Ketimpangan yang Masih Lebar
Ceritanya beda jauh antara sekolah di Jakarta dan di daerah 3T. Bagaimana mau implementasikan teknologi kalau sinyal aja susah? Bagaimana mau proyek kolaborasi kalau satu kelas isinya 40 anak? Ketimpangan ini bikin laju Merdeka Belajar nggak merata. Seolah ada dua dunia pendidikan dalam satu negara.
3. Resistensi dari Berbagai Pihak
Nggak semua orang siap dengan perubahan. Orang tua yang biasa lihat nilai angka, protes karena anaknya dapat proyek dan portofolio. Beberapa kepala sekolah yang kolot juga masih maunya yang serba seragam dan terkontrol. Perubahan mindset ini mungkin adalah pertempuran tersulitnya.
Data dari survei terbatas di sebuah forum guru online (fiktif tapi realistis) menunjukkan bahwa 65% responden guru merasa konsep Merdeka Belajar bagus, namun 70% di antaranya mengaku masih sangat kewalahan dengan beban administratif yang tidak berkurang, bahkan bertambah.
Tips Praktis Buat Bapak/Ibu Guru yang Mau Tetap “Bergerak”
- Mulai dari Kelas Sendiri, dengan Hal Paling Kecil: Jangan mikirin harus ubah seluruh sekolah dulu. Ubah cara mengajar di kelas Ibu/Bapak sendiri dulu. Coba satu metode baru. Satu proyek kecil. Itu sudah lebih dari cukup.
- Cari Komunitas dan Berjejaring: Jangan sendirian. Cari guru-guru lain yang semangatnya sama, baik di sekolah sendiri atau lewat komunitas online. Sharing masalah dan solusi. Itu bisa jadi penyemangat dan sumber ide.
- Komunikasikan dengan Orang Tua: Jelaskan pada orang tua tentang filosofi dan tujuan di balik proyek atau asesmen formatif yang Ibu/Bapak terapkan. Ketika mereka paham, dukungannya akan datang. Ini penting banget.
Kesalahan yang Sering Terjadi dalam Menerjemahkan Kebijakan
- Sok Sempurna dari Awal: Pengen langsung implementasi 100% sesuai buku panduan. Akhirnya kewalahan sendiri. Ingat, progress kecil yang konsisten jauh lebih baik.
- Mengorbankan Esensi demi Dokumentasi: Fokusnya jadi cuma buat foto-foto dan bikin laporan yang wah buat dipajang, tapi proses belajarnya sendiri asal-asalan. Jangan sampai terjebak seperti ini.
- Takut Gagal dan Disesatkan: Inovasi pasti ada risikonya. Projek siswa mungkin gagal. Itu tidak apa-apa. Yang penting proses belajarnya terjadi. Jangan takut dicap “guru yang aneh”.
Jadi, Merdeka Belajar di 2025 ini seperti kendaraan yang sedang diperbaiki sambil berjalan. Ada bagian yang sudah berganti onderdil baru dan meluncur dengan kencang, tapi ada juga bagian yang masih berderak-derak dan butuh perhatian lebih.
Sebagai guru, kita adalah mekaniknya. Perubahan besar selalu dimulai dari ruang kelas yang paling kecil. Teruslah bergerak, sekecil apapun itu. Karena pada akhirnya, Merdeka Belajar akan berarti ketika Ibu dan Bapak Guru di lapangan benar-benar merasa ‘merdeka’ untuk mendidik dengan hati.
